Ngopi Cantik Bersama Adhitya Mulya di Anomali Coffee

Anomali Coffee. Hari sabtu ini kebetulan jadwal saya sedang kosong. Baiklah saya menyempatkan untuk hadir di acara community gathering bersama para mama-mama yang kece disini. Ngapain datang kesini? Alasan pertama, saya ingin ketemu langsung sama penulis novel ini, mas Adhitya Mulya sekaligus minta tandatangan.

Kedua, karena tempatnya kece, Anomali Coffee. Saya itu addict banget sama ngopi, jadi saya ingin  tau lokasi Anomali Coffee cabang lain salah satunya yang di Teuku Cik Ditiro ini dimana. Lumayan bisa buat referensi tempat saya untuk meeting :). Yang ketiga, di acara ngopi cantik ini akan membahas sisi parenting dari buku ini. Nah, saya jadi penasaran sejauh mana buku ini terhadap dunia parenting. Yukk marii.. nanti saya bahas ya di bawah 🙂

Bertempat di Anomali Coffee, Jl. Teuku Umar Cik Citiro, nampaknya saya tidak sulit menemukan lokasi ini. Menyusuri tol dalam kota dan keluar di pancoran, jalanan ramai lancar, perjalanan memakan waktu 40 menit untuk sampai ke lokasi ini.

Dok pribadi

Anomali Coffee disini lumayan comfy, interior designnya berbeda dengan Anomali Coffee yang pernah saya datangi di setiabudi building dan Senopati. Disini lebih kepada bertemakan classic resto. Ada mini bar di bagian tengah, dan tempat duduk ada di bagian samping kiri dan kanannya.

Acara sharing dimulai pukul 10 pagi. Sepertinya saya adalah orang terakhir yang datang kesini 🙂 Mas Adithya nampaknya sudah siap dengan slidenya.
Seperti biasanya moderatornya adalah mba Ninit Yunita yang juga beliau merupakan istri dari Mas Adhitya Mulya ini 🙂

Sesi pertama dimulai dengan pembacaan prolog novel Sabtu Bersama Bapak.

Mas Adhitya Mulya bercerita behind the scene dari novel ini. Novel Sabtu Bersama Bapak ini ternyata merupakan buku ke-6 dan novel ke-5 nya. Waah saya baru tau karyanya mas Adhitya yang ini 🙂

My snacks : Fudge Brownies
My Drink : Ice Cappucino

Pembuatan buku ini sejak tahun 2013. Yang awalnya dalam bentuk non-fiksi (dan sudah siap terbit). Berkali-kali mengalami revisi, sampai akhirnya buku ini tampial dalam bentuk fiksi dengan jumlah 30 pesan, dan akhirnya tahun 2014 siap terbit.

Di dalam buku ini terdapat 3 sub bahasan. Yaitu sisi parenting suami-istri, mencari jodoh, dan orangtua-anak.
Bahasan pertama tentang #ParentingLessons di saat si anak masih kecil, yaitu di :

Halaman 58, yaitu “Bad boss? Bisa cari karir lain. Bad parents?” 
Bahasan pertama, saya merasa ‘bener bangeeet’. Bahwa jika kita kerja di kantoran, kita tidak menyukai atasan kita, kita bisa mencari pekerjaan lain. Sementara kita menjadi contoh yang tidak baik untuk anak-anak kita, ya mereka terima apa adanya, dan mereka tidak bisa memilih orangtua yang lebih baik 🙂
Nah tinggal kita sebagai orangtua yang merubah kelakukan buruk kita.

Halaman 74, yaitu antara pembeli dan membuat (menghargai proses). Kita mengajarkan arti dari sebuah proses kepada anak kita.

Halaman 103, yaitu Panutan bukan tugas anak sulung. tapi tugas orangtua.
Sering sekali kita mendengar para orangtua menjudge kepada anak sulungnya dengan perkataan, “Kamu tuh anak sulung, harusnya kamu menjadi contoh untuk adik-adik kamu! Kalau mau di flash back, iya banget, saya sebagai anak sulung selalu ditekankan dengan image seperti itu, bahwa anak sulung harus menjadi contoh untuk adik-adiknya.
Mas Adhit berpesan, jika kita menanamkan moral seperti ini kepada anak sulung kita, nantinya mereka akan menjadi beban. Yang mungkin efeknya bisa terbawa pada saat dia dewasa nanti. Secara tidak sadar.

Halaman 119, yaitu Harga diri itu dari dalam, berdampak keluar. Bukan dari luar ke dalam. Cerita dari sekolah.
Diibaratkan seperti ini, pernahkah teman-teman yang anaknya sudah gape pegang gadget, ke sekolah, lalu anak kita ditanya seperti ini oleh temannya,”Gagdet kamu merknya apa?” Yang sebenarnya membawa gadget adalah hal yang dilarang oleh pihak sekolah.
Mungkin bagi si anak karena ia polos ya dia akan menjawab apa adanya, jika ia tau. Tapi kalau anak kita tidak tahu, lalu bertanya ke kita, “Ma, gadget kita merknya apa ya? Tadi aku ditanyain sama temen aku. Dia merknya Apple soalnya.” Katakan saja anak kita belum dan tidak membawa gadget sementara temannya bermain gadget. Pertanyaan sesimple ini yang mungkin bisa menyentuh hati kita.
Nah, untuk kasus seperti ini mungkin kita bisa menanamkan nilai moral kepada anak kita, katakan saja, bahwa, “Saya tidak membawa gadget karena dilarang oleh pihak sekolah. Itulah sebabnya saya tidak bermain gadget disini.”
Dan tindakan kita sebagai orangtua, mungkin bisa mendatangi pihak sekolah, dan menanyakan langsung, apakah setiap anak diperbolehkan membawa gadget ke sekolahnya? Karena hal ini bisa mengganggu anak lainnya dan menimbulkan kesenjangan sosial.

Mas Adhit pernah ditanya oleh anaknya,
Anak : “Pa, mobil kita mereknya apa sih?”
Mas Adhit : “Hmm…Honda Jazz. Kenapa nak?
Anak : “Gak, tadi aku ditanya sama temen”

Pertanyaan-pertanyaan sesimple itu mungkin terdengar polos oleh anak kita. Tapi itulah yang sebenarnya yang terjadi di era sekarang ini. Bahwa harga diri itu bukanlah dari luar ke dalam. Melainkan sebaliknya.

Halaman 158, coba bercerita sendiri. Karena banyak cerita yang tidak tepat.
Mas Adhit memberi contoh kisah Si Putri Salju dengan 7 kurcaci. Dengan akal sehat logika orang dewasa mana mungkin si putri salju hidup dan tinggal bersama 7 orang lelaki yang bukan muhrimnya? Yah lets say, kita berpikir secara anak-anak saja bahwa itu cerita kartun ringan saja. Tapi justru jika kita mengkaji ulang cerita-cerita atau dongeng dari negeri luar sebenarnya tidak baik lho 🙂
Oleh karena itu kita sebagai orangtua, sebaiknya membuat cerita sendiri, dan pandai berdongeng. Banyak cerita. Jika kita lakukan seperti itu, berulang kali, mendongengkan sebelum tidur, biasanya si anak akan mudah bercerita kepada kita. Dia akan cerita apa saja kepada kita sebagai orangtuanya.

Halaman 148, Menurut kamu bagaimana?
Mungkin banyak diantara kita yang sudah mempunyai anak berusia remaja, sering dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang (mungkin) cocok untuk orang dewasa dan layaknya mereka belum cukup umur. Misalnya pertanyaan seperti ini, “Ma, pacaran dan kawin itu apa sih ma?”
Nah, sebaiknya kita sebagai orangtua jangan langsung menjawab, tapi kita lontarkan kembali pertanyaan ini kepada dia, memancing mereka supaya kreatif “Kalo menurut kamu pacaran dan kawin itu apa?” Sehingga dengan pertanyaan seperti ini, dia akan berpikir. Dan jika ia sudah menjawab, kita sebagai orangtua wajib menjawab dengan cara meluruskannya. Supaya pemahaman dia tidak melenceng terlalu jauh.

Sekarang sisi parenting saat anak sudah dewasa.

Halaman 49, imbangi antara otak dan hati. Akademi dan soft skill.
Jaman sekarang kalau mau melamar pekerjaan, pasti membutuhkan IPK. Walaupun ujung-ujungnya nantinya nilai IPK itu hanya sebagai formalitas saja.
Mas Adhit bercerita dulu IPK nya saja tidak sampai batas PNS, yaitu hanya 2.45. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia menjadi manusia yang kreatif, dan berhasil menelurkan karya-karya yang hebat dalam hal penulisan.
Nah di buku ini mengajarkan bahwa apapun profesi yang akan anak kita achieve sesuai hobbynya atau tidak, tetap soft skill dan akademi itu harus berjalan beriringan.

Tidak ada benar dan salah dalam mendidik anak (dunia parenting).
Kita yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak kita. Jadi dalam hal dunia parenting tidak ada yang harus dibenarkan dan tidak ada yang harus dipersalahkan. Semua orangtua itu pasti yang terbaik untuk anaknya.

Halaman 88, saat kecil (coba) tidak menyusahkan orangtua. Sudah tua (coba) tidak menyusahkan anak.
Hmmm,,, terdengarnya teoritis banget ya. Tapi thats the real. Ketika kita hadir sebagai anak, terkadang kita sering menyusahkan orangtua. Betul apa betul? Nah, sebisa mungkin, ketika kita menjadi orangtua, jangan sampai menyusahkan anak. Duh jleb banget ini ya 🙂
Nilai moralnya seperti cerita Bapak Satya dan Cakra di buku tersebut, sebelum bapaknya meninggal, bapaknya sudah menyiapkan tabungan (cukup) untuk menghidupi keluarganya kelak. Tidak harus mewah. Tapi cukup.

Halaman 37, Plan head. Personal life lessons : We got one shot a life. Make it count.
Artinya, hidup kita cuma sekali. Jangan disia-siakan. Rencanakanlah masa depan kita dari sekarang. Kita harus selalu berusaha untuk jadi yang lebih baik. Khususnya untuk anak-anak kita.

Di akhir sharingnya, mas Adhit sharing bahwa ia pernah mendapati kasus seperti ini dari seorang temannya.
Mas Adhit : Bro, kok lo belum kawin-kawin sih? Anak gue udah 2 lho”
Teman : “Yeaah Bro, mungkin belum nemu yang pas aja sih.”
Mas Adhit : “Emang kriteria cewe idaman loe seperti apa sih? Jangan-jangan ketinggian loe, nanti yang ada malah gak dapet lho”
Teman : “Ahh gak. Gw mah orangnya santai kok, gak terlalu muluk-muluk. Gw pengen nanti cewe atau istri gw terima ga apa adanya aja seperti ini.”

Terdengarnya mungkin sedikit low profile, tapi sejujurnya jika kita mendengar pernyataan itu “gw pengen pasangan hidup gue bisa nerima gw apa adanya.” Yakali kalau dirinya sudah baik (katakanlah) rajin ibadah, punya pekerjaan tetap, hidupnya teraturm dan sebagainya. Ya kalau hidupnya aja udah gak beres, lalu ceroboh dan sebagainya, apa iya pernyataan tersebut masih berlaku, si calon istrinya akan nerima dia apa adanya dengan penampilan yang ala kadarnya? 🙂

Sebelum kita bilang seperti itu, berkacalah diri sendiri, apakah diri kita sudah layak tampil? Sudah layak dijual? 🙂

Selesai sharing dari Mas Adhit, sesi sharing dari audience dibuka. Nah, kebetulan ada salah seorang audience (cowo) yang berbagi kisahnya. Dia sudah membaca buku Sabtu Bersama Bapak ini sebelumnya.

Dok Pribadi

Dan jujur saja buku ini bisa menitikkan air mata saya. Saya banyak mengalami perubahan dengan adanya buku ini. Soal jomblo, iya bener banget apa yang dibilang mas Adhit. Sekarang saya sudah punya istri alhamdulillah, dan sekarang anak saya sudah berusia hampir mau 2 tahun.
Soal olahraga, dia sempat memperbaiki dirinya, berat badannya dulu hampir mencapai 90kg, tapi sekarang karena rajin fitness, dia ingin tampil yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya, sekarang berat badannya hanya 67 kg. Wooow 🙂

Luar biasa sharing dari mas (yang saya lupa namanya) ini. Bahwa segitu besar dampak dari novel ini yang bisa mengubah hidupnya menjadi 180 derajat.

Setelah selesai sharing dari Mas Adhit, acara dilanjutkan dengan foto bersama, dan tandatangan.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih banyak kepada The Urban Mama, terima kasih juga untuk mas Adhitya Mulya, sharing paginya sangat-sangat bermanfaat. Ternyata buku ini bukanlah sekedar novel biasa. Tapi banyak sisi parenting yang ditanamkan pada novel ini.

Ahh…. akan kusampaikan pesan ini untuk suamiku… supaya dia juga ikutan membaca novel ini 🙂
Courtesy : TheUrbanMama

9 Responses

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *