Screenshot_2014-11-24-09-24-23-1.png

Workshop Photography by Canon Indonesia Lesson 2

Dulu waktu saya kuliah saya pernah belajar ilmu fotografi. Sekitar tahun 2002. Tapi nggak saya lanjutkan saat itu. Karena keterbatasan waktu dan saat itu juga saya belum punya kamera SLR juga. Dulu kamera besar SLR mah masih mahal bangeet. Nah, karena saat ini Canon sedang mengadakan free workshop plus saya juga punya kamera SLR Canon, so saya putuskan menjadwalkan di agenda saya bahwa setiap selasa pukul 1 siang saya ikut kegiatan workshop fotografi di mal SMB ini 🙂

Hari itu, Selasa 2 Desember 2014 adalah kali kedua saya mengikuti workshop photography yang diadakan di Summarecon Mal Bekasi. Saya baru ingat bahwa hari itu ada workshop saat jam 11 siang. Langsung aja deh saya konfirmasi melalui nomor telepon tertera pada bannernya. Wah, kebetulan trainernya ada hari itu. Agak ragu mau dateng, karena sedari pagi saya sudah beraktivitas. Bangun subuh-subuh, untuk menghadiri live talkshow di Radio UFM, ceritanya sudah saya sharing disini. Masa sih siangnya saya harus keluar rumah lagi? Kasian kan Baby Narend? Tapi berhubung suami sudah terlanjur bikin janji dengan trainernya, bahwa sudah mendaftarkan nama saya, dan suami saya juga support saya untuk dateng, ya sutralah saya jadi menghadiri workshop hari itu.

Perlu waktu sekitar 40 menit perjalanan rumah ke SMB. Alhamdulillah tidak ada kemacetan yang berarti. Parkir di Lantai G basement seperti biasa, langsung aja saya menuju store Canon. 
Langsung saya disambut oleh trainernya. Buseet, yang dateng workshop cuma saya aja. Just wondering, emangnya orang-orang gak butuh ilmunya ya? Duuh, ini gratis, sayang banget kan kalau gak dimanfaatkan? Apa karena di hari dan jam kerja ya? Jamnya sih jam nanggung jam 02.30 PM. Hihi… jam-jam segitu cuma ibu-ibu dan yang punya usaha aja ya yang bisa pergi kapan aja. Termasuk saya, qeqeqe…
Ivan : Halo, selamat siang mba. Saya dengan Ivan. Mba dengan siapa?
Me : “Saya dengan Oline.
Ivan : “Oke, good. Mba yang mau ikutan workshop Canon kan?
Me : Iya” (Dalam hati, emang ada orang lain lagi yak selain saya hahaahaa…)
Sebelum mulai workshop, kami berkenalan terlebih dahulu. Sepertinya mas Ivan ini work base nya di Canon Kelapa Gading. Karena saat di tengah-tengah conversation, mas Ivan sempat menyebut, “Shuttle-nya sampai di Bekasi baru jam 2. Saya pikir bakalan lama dan macet di jalan. Oh ternyata nggak.”

Nah, dari conversation itulah saya bertanya, shuttle darimana. Mas Ivan menjawab, “Dari Kelapa Gading.”
Saya asumsi sendiri, sepertinya free workshop Canon Indonesia ini diadakan memang cuma-cuma oleh Canon guna untuk menarik peminat photography untuk lebih banyak menggunakan kamera SLR khususnya Canon. Pastinya ya 🙂 

Pasang Lensa

Sebelum mulai workshop, mas Ivan menyuruh saya memasang kamera saya (masih di dalam tas nih, ceritanya), belum saya pasang, masih dalam keadaan di bongkar. Karena sambil ngobrol, saya agak kesulitan untuk memasang lensanya nih ceritanya. Ya kali ada sekitar 20 detik. Mas Ivan akhirnya membantu saya untuk memasang lensanya. Saya mah karena gak ada basic learning soal photography, jadinya gak tau bagaimana cara memasang lensa yang benar. Dicoba-coba aja di pas-pasin di lubangnya. Mas Ivan bilang, ternyata ada aturannya, bhuahahaa.. Saya hampir malu bukan kepalang :)) Yowislah ya, gak usah lama-lama malunya, namanya saya kesini kan buat belajar. Kalau malu-malu terus kapan belajarnya? :))
Mas Ivan sempat tersenyum sedikit melihat saya agak kesulitan memasang lensanya. Dia bilang, “Jangan dipaksa ya memang lensa itu. Ada aturannya. Lihat disini ada titik putih kan? (Sambil menunjuk ke titik putih di body kamera). Nah dipasangkan dengan lensanya pas di titik putih juga (sambil menunjukkan titik putih yang ada pada lensa). Oke-oke. Sekarang saya paham bagaimana cara memasang lensa. 
Ohya, mas Ivan sempat bilang, kalau kamera akan dipakai lagi dalam jangka waktu dekat, lets say minggu depan atau besok (bahkan), baterainya tidak dicabut dari body lensa juga tidak apa-apa. Kecuali dalam sebulan gak ada pemakaian, silakan dicabut aja dari body kameranya. 
Untuk menaruh kamera di dalam tas, tidak usah dibongkar lensanya. Unless you have another one (lensa). Lho kenapa? (Tanya saya). Karena kalau bongkar pasang, bisa menyebabkan sensor kameranya kotor. Walaupun saat dibongkar bagian sensornya ditutup. Nah, kalau kayak gini, sensornya harus dibersihkan (Mas Ivan sambil mengambil kamera saya lalu mengecek bagian sensornya dan langsung dibersihkan dengan alat sejenis semprotan angin untuk membersihkan debu)

Seperti gambar di bawah ini :

Usahakan menyimpan lensa dalam keadaan seperti ini
Eh iya, kamu tau gak bagian sensor yang mana? Ini lho kotak kecil yang di dalam itu. Hati-hati, bagian ini jangan sampai kotor atau luka ya. Karena kalau kotor yang tidak bisa dibersihkan (fatal), harus ganti sensor. Dan itu kabarnya harganya jutaan boo… 
Cara Membidik Target (Focus)
Untuk membidik sasaran atau target, setiap orang pasti berbeda-beda. Kalau saya sih lebih suka menggunakan mata kanan. Rata-rata orang Indonesia umumnya menggunakan mata kanan. Tapi Mas Ivan mengajarkan saya untuk terbiasa menggunakan mata kiri. Kenapa? Karena jika kita menggunakan mata kanan, nantinya mata kita tertutup dengan tangan kita saat memegang lensa. (Tau kan yah, kebayang gak apa yang aku jelasin? Hehehee…)
Tapi terlepas daripada itu sih bebas aja. Mana disuka dijalanin aja.
Tau Tehnik Berfoto
Mas Ivan cerita, kalau teman fotografernya bilang bahwa mereka bisa karena terbiasa. Itu artinya, walaupun kita belajar kayak gimanapun tehnisnya, 90% yang menentukan adalah learning by doing. Dalam fotografer gak ada ilmu pastinya, harus beginilah, harus begitulah, dan sebagainya. Ohya, temannya itu wedding photographer. Pastinya memotret objek yang bergerak seperti event wedding begitu kan butuh yang namanya tehnik (skill)? Nah, dalam lapangan semua yang dipelajari hanya 10% nya aja kok. Sisanya based on experience. So, jadi kalau punya kamera, sering-seringlah berexplorasi sendiri. Berkreasi sendiri 🙂
Suka Memfoto Makanan
Saya perkenalkan diri saya bahwa saya adalah orang yang suka makan. Yang suka foto-foto makanan. Lalu saya membagi ceritanya dalam sebuah cerita dan social media. Mungkin bagi sebagian orang adalah food blogger. Tapi saya sih belum sampai kesitu. Yaah, masih sebagai hobby aja, belum mengclaim diri jadi foodblogger hehee….
Food Blogger pasti erat kaitannya dengan kualitas foto yang oke. Kalau foto yang gak oke, pastinya agak susah menarik perhatian dan panca indera orang terhadap kualitas foto yang kita hasilkan. Gimana bisa buat orang ngiler kalau foto kita ngeblur? 🙂 Nah, apalagi sebagian besar para foodblogger lebih sering terjun di social media (instagram). Yang kualitas fotonya oke-oke.
Saya sempat bertanya, settingan apa yang bagus dan oke untuk memotret makanan? Mas Ivan bilang, umumnya orang memotret makanan dari sudut 45 derajat. Ambil ISO terendah dan bukaan kecil. Kalau mau membuat efek BOKEH (akan saya jelaskan soal BOKEH di paragraf berikutnya), bisa mengambil < 45 derajat. 
Jika menginginkan lebih BOKEH lagi, bisa mengambil posisi lebih rendah lagi, yaitu 30 derajat, dengan kondisi object ke background harus lebih jauh. Tapi mungkin toppingnya tidak terlalu jelas.
Nah, warning banget nih, buat yang mau ambil posisi bokeh sebagai sense of food art, jangan sekali-kali mengambil foto dari atas 180 derajat ya. Karena di belakang object langsung berhadapan dengan meja.
Tips 
Nah, karena untuk memfoto makanan supaya kualitas foto yang dihasilkan OKE, mas Ivan menyarankan saya sebagai food blogger kudu wajib mempunyai benda wajib bawa yang 1 ini. 
Portable Tripod
Yep. This is portable tripod. Benda ini bisa menjadi penolong untuk ISO-ISO rendah. Supaya objectnya tidak ngeblur atau tidak shake. Karena pengaruh sekali. Tips ini berlaku di kamera-kamera SLR yang bertipe rendah seperti kamera yang saya punya ini Canon 1000 D. Kalau kamera yang tipe-tipe sekarang ISO-ISO 800-900 masih OKE. Yang pasti kalau udah pakai portable tripod ini kita gak perlu ya yang namanya nahan-nahan nafas 😀 hahahaa…
Portable tripod seperti ini di Canon seharga IDR 250000. Ohya, tripod seperti ini bisa dipakai untuk kamera apa saja. Mau SLR atau pocket. Kecuali kamera SLR yang professional. Bahannya rubber dan cukup enteng. Jadinya hand and carry.
EFEK BOKEH
Atau istilahnya MACRO. Pernah denger efect MACRO? Makro itu adalah tehnik foto yang jarak antara lensa dengan object lebih dekat ketimbang object dengan backgroundnya. Kalau objek terlalu dekat dengan background, efek bokeh atau makro-nya tidak akan bisa berhasil. 
Gadget VS Kamera SLR
Saya sempat bertanya, membandingkan gagdet dengan tipe tertinggi vs kamera SLR. Katakanlah Nokia 1020 40MP vs Kamera SLR Canon 650 D. Bisa dibandingkan hasilnya (saat dicetak, bukan hanya dilihat secara kasat mata saja ya). Saat kita melihat hasilnya berdasarkan mata kita, pasti mata kita akan memberi sinyal keduanya itu ‘bagus’, right? Padahal setelah dicetak, foto yang menggunakan gadget pasti akan pecah dan banyak noise yang ditimbulkan. Bisa dibuktikan sendiri nanti 🙂 Ukuran sensor amat sangat berpengaruh sekali. Makin besar sensornya, makin banyak informasi yang didapat. 
Treatment
Bagian perawatan seringkali dilupakan orang. Padahal kalau kita teliti merawat kamera kita, umur si kamera juga akan lebih panjang bukan? 🙂
1. Biasakan menutup kaca lensanya setelah digunakan
2. Jangan ditaruh di lokasi yang lembab. Karena jika lembab bisa dihinggapi oleh jamur. Eaa masa kamera ikut-ikutan orang sih panuan? :))
4. Jika tidak ingin dipakai dalam jangka waktu yang lama, jangan lupa untuk mencopot baterainya supaya baterainya tetap awet dan tidak bocor. 
Good Quality
Suatu foto dikatakan good quality atau bagus komposisinya bila memenuhi grafik histogram fotografi. Penggambarannya seperti di bawah ini. Untuk warna yang full berada di tengah-tengah. Tidak terhalang shadow atau terlalu lights
Start Practise
So, setelah dijelaskan beberapa teori dalam fotografi, sekarang mulai latihan. Mas Ivan mencoba mencontohkan beberapa pengambilan gambar dengan objek seadanya yang di meja kita saat itu. Kita mulai mencoba-coba dengan beberapa aperture dan beberapa ISO.
Perhatikan benda yang berwarna hitam di tengah ya sebagai POI (Point of Interest). Dari object ke depan lensa namanya foreground. Dari object ke belakang namanya background.
1. Membuat efek BOKEH
Gambar 1
Details gambar 1 :
SS (Shutter Speed) 1/12 sec
Lens Aperture F/18
ISO 1600
Expore Time 1/13 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB
Gambar 1 karena ISO-nya tinggi 1600, efek bokehnya tidak didapat. Semua tulisan background maupun object tidak ada yang ngeblur. Sampai tulisan di benda yang hitam juga terbaca. Warna hitamnya juga lebih pekat. Dengan ISO tinggi 1600, berarti banyak lights (cahaya), yang didapat, menghasilkan kualitas foto yang bagus. It means kita hanya membutuhkan waktu (shutter speed) 1/12 sec saja.
Gambar 2
Details gambar 2 :
SS (Shutter Speed) 1/25 sec
Lens Aperture F/3.5
ISO 100
Expore Time 1/25 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB

Gambar 2 :
Background ngeblur, tapi masih bisa terbaca. Benda yang warna hitam warnanya menjadi lebih soft.

Gambar 3

Details gambar 3 :

SS (Shutter Speed) 1/395 sec
Lens Aperture F/3.5
ISO 1600
Expore Time 1/400 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB

Disini ISO ditinggikan karena speednya terlalu pelan. Karena ISO untuk komposisi cahaya.

Gambar 4

Details gambar 4 :

SS (Shutter Speed) 1/21 sec
Lens Aperture F/3.5
ISO 100
Expore Time 1/20 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB

Gambar yang dihasilkan pada gambar 4 warna hitamnya tidak terlalu pekat. Background 100% ngeblur, dan tulisan tidak terbaca. 
Kesimpulannya :
Semakin kecil ISOnya, efek BOKEHnya akan lebih terlihat. Untuk kasus object yang moving, misalnya seperti memfoto event konser, atau artis performance, mas Ivan menyarankan bisa memakai ISO tinggi. Karena jika ISO rendah, dia akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. 
Jika kita menginginkan something details, seperti tulisan atau object yang kecil ingin terlihat, usahakan mensetting ISO serendah mungkin.
Perhatikan juga jaraknya. Makin dekat lensa ke object, dan makin jauh object ke background, efek BOKEHnya makin terlihat. 
2. Bermain Shutter Speed
Nah, kali ini saya diajarkan bermain-main soal shutter speed. Perhatikan tulisan pada benda hitam itu. Disini ISO yang dipakai adalah sama ISO 100.
Gambar 1
Keterangan Gambar 1 :
SS (Shutter Speed) 1/6 sec

Lens Aperture F/5.7

ISO 100
Exposure Time 1/6 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB
Gambar 2
Keterangan Gambar 2 :
SS (Shutter Speed) 1/3 sec
Lens Aperture F/5.7
ISO 100
Exposure Time 1/3 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB
Gambar 3

Keterangan gambar 3 :

SS (Shutter Speed) 0.77 sec
Lens Aperture F/5.7
ISO 100
Exposure Time 0.8 sec
Hor x Ver 72 dpi
Bit Depth 24
Colour Representation sRGB
Khusus untuk gambar 3 meteringnya bisa dinaikkan menjadi kondisi +.

Semakin cepat shutter speednya, cahaya yang dihasilkan lebih sedikit (gelap). Berlaku hal sebaliknya. Lihat perbandingan gambar diatas. Karena gambar 3 shutter speednya lebih lama, cahaya yang dihasilkanpun lebih banyak diserap oleh si object. 
Untuk mengambil object yang sifatnya moving atau bergerak, disarankan untuk shutter speed yang cepat. Karena kalau kita pakai yang lama, akibatnya object juga akan menjadi ngeblur. Contoh lain jika kita ingin mengambil gambar fireworks (kembang api), ini memakai shutter speed yang lama juga. 
Mas Ivan memberikan referensi untuk mengambil kembang api, biasanya dia memakai 1/5 – 1/10sec. 
Sumber : Google
Kondisi Ideal

Kondisi ideal dalam berfoto itu adalah 1/60 – 1/100. Kondisi indoor. Bisa lebih bagus, asal jangan kurang. 

Kesimpulan
(Lihat gambar 3) Semakin rendah shutter speednya, berarti kan cahaya yang ditangkap semakin sedikit. Akibatnya backgroundnya pun menjadi putih. Berbeda dengan gambar 1. Backgroundnya masih kelihatan dan terbaca.

Jadi misalnya kita menghilangkan warna background foto kita, kita bisa menaikkan shutter speednya (kecepatan menangkap object). Ya konsekuensinya setelah itu kita bisa mengeditnya dengan bantuan Photoshop tentunya.
ISO
Time
high
Less time
low
More time
Saya sempat bertanya, apakah seorang fotografer handal, bisa lepas dengan yang namanya Photoshop? Jawaban mas Ivan, tidak. Mau sehebat apapun fotografer dan secanggih apapun kameranya, pasti akan selalu membutuhkan aplikasi photoshop sebagai retouch foto. Tau kenapa? 🙂 Karena sebuah foto pasti ada kurang dan lebihnya. Tidak selamanya foto menghasilkan warna sesuai dengan aslinya. Terutama untuk kepentingan blog atau komersil. Kecuali untuk kepentingan pribadi ya.
So, somehow untuk foto makanan ada yang dilakukan di dalam studio. 
3. Lens Aperture

Kondisi bokeh atau tidaknya tergantung juga dengan aperture (bukaan lensa, atau ada juga yang menyebutnya diafragma). Mas Ivan biasanya memakai kondisi AV. Kalau kondisi P itu biasanya sudah otomatis. Kalau AV bisa di setting manual.

Angka yang paling besar adalah bukaan yang paling kecil (small opening). Angka yang paling kecil adalah bukaan yang paling besar (large opening).

4. Metering

Dalam berfoto, usahakan metering berada di posisi 0.

Metering 

Tehnik Berfoto :

1. Usahakan setting ISO (rendah) yaitu 100 dalam kondisi ini
2. Setting bukaannya dulu (f). Tentukan dulu kita mau foto apa dulu. Nah, misalnya saya mau foto makanan, berarti saya setting aperturenya di angka yang rendah. Kecuali sudah banyak detail, harus sedikit dinaikkan ISOnya. Tujuannya supaya dapat efek BOKEHnya.
3. Coba untuk fokus.

Mas Ivan menanyakan apakah saya sudah ada kenalan food stylish, atau mungkin food designer? Saya bilang belum sih, karena belum ada pikiran kesana. Semua masih sebatas hobby saja. Tapi jika ingin lebih professional, gak ada salahnya kita bisa kenal dekat dengan mereka, lalu kita bisa meng-copas tehnik yang mereka lakukan. Sah-sah aja kan? Tidak melanggar hak cipta. Yang kita tiru adalah tehnik mereka. Bukan hasil karyanya. Waaa, masukan yang sangat bagus nih untuk saya mau difokuskan di bidang food blogger 🙂 Dengan demikian kita akan menemukan style kita sendiri nantinya.

Karena tujuan foto kita sebagai food blogger kan bagaimana foto makanan itu bisa menggugah selera orang, sehingga orang mau juga mencoba makanan tersebut kan? Mau bagaimanapun caranya (bisa sentuhan photoshop atau tidak). Yang penting tujuan tercapai.

Justru yang perlu diperhatikan, ekstrim atau tidaknya aja dalam mengedit sebuah foto. Terlepas tidak merubah foto aslinya, hanya mengkoreksi warna, cahaya dan kontras saja ya tidak masalah. Mas Ivan malah menyarankan sebuah foto makanan harus menggunakan sentuhan photoshop. Karena untuk menggugah selera makan orang banyak.

Mas Ivan bilang bahwa semua tampilan LCD pada gadget adalah ‘menipu’. Tau kenapa? Bahwa yang tampil pada LCD tersebut gak sama seperti aslinya. Apalagi samsung katanya. Nah lho, saya juga baru tau 🙂 Karena Samsung benar-benar bagus dari kaulitas resolusinya. Coba bandingkan dengan kualitas SLR tentunya dengan pixel yang sama ya. Pasti saat dicetak foto yang diambil menggunakan gadget akan pecah dan banyak noise nya. Bikin saya penasaran aja nih pengen nyoba 🙂

Memilih Model Pocket Kemampuan SLR

Saya ada rencana untuk mengganti kamera SLR yang saya punya ini menjadi kamera pocket yang model sekarang. Mas Ivan menyarankan untuk memakai Canon N100.

Source : Google

Saya berniat mengganti menjadi ‘pocket’ alasannya simple, malas berhubungan lagi dengan security :))) Kalau bentuknya pocket kan tidak melulu ditanya keperluannya apa. Tapi lagi-lagi mas Ivan bilang, bahwa secanggih ocket N100 tidak dapat menandingi kemampuan SLR 1000D ini. Walaupun hasilnya bagus. Tapi coba bandingkan hasilnya saat fotonya dicetak. Karena ukuran sensornya lebih kecil. Bukaan lensanya 1.8. Pocket ini masih lebih baik daripada kamera gadget. Tapi tidak lebih baik dari SLR. Perbandingannya seperti ini :

Gadget < pocket < SLR

N100 enak nih, displaynya ada 2 kamera. Kamera depan dan kamera belakang dalam 1 shoot. Bisa WIFI, jadi bisa langsung di share ke social media. Bisa langsung dicompress. Harganya berkisar IDR 3.4jutaan.

Kelebihan lain. Misalnya kalau kita mau selfie dengan teman-teman kita, tapi gak ada yang dimintai tolong untuk fotoin, kita bisa control dari gadget kita. Dengan menggunakan WIFI. ihhh asik ya 🙂

Kesimpulan : Untuk foto produk, sebisa mungkin pakailah kamera SLR, bukan kamera pada gadget. Walaupun secara kasat mata kita melihatnya sama aja. Tapi kalau untuk keperluan naik cetak, apalagi untuk keperluan media cetak, disarankan memakai kamera SLR saja.
Justru kamera yang megapixelnya makin besar perlu dicurigai kualitasnya. Karena semakin banyak noise yang dihasilkan. Ukuran sensor menentukan segalanya.
Foto itu gak usah terlalu dipikirkan tehnisnya baiknya bagaimana. Sesuai dengan kita enaknya bagaimana. Disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari si objectnya. Makin sering kita berlatih dengan shutter speed dan ISO, kita akan menemukan style berfoto kita enaknya seperti apa. Yang terpenting dimana dan kapan saat kamu memegang shutter speednya. Just photo for fun.

Olrite, workshop saya cukup sampai disini. Sepertinya tinggal prakteknya aja nih. Minggu depan saya akan menghadiri workshop by Canon lagi. Melanjutkan materi hari ini. Sebelum pulang akhirnya mas Ivan meminta alamat blog saya untuk dijadikan referensi 🙂

So, sampai ketemu dengan materi workshop selanjutnya ya 🙂

8 Responses

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *